Monday, 18 June 2012

Sejarah Hidup Imam Ali Bin Abu Thalib

MUQADIMAH
Bab 00 Profil Imam Ali Bin Abu Thalib
Usaha menyingkat sejarah kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. dalam lembaran-lembaran buku, bukanlah pekerjaan yang mudah. Sejak semula telah terbayang kesukaran-kesukaran yang bakal dihadapi. Betapa tidak!
Kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a., terutama pada tahap-tahap terakhir, sejak terbai’atnya sebagai Khalifah sam­pai wafatnya sebagai pahlawan syahid, bukankah satu kehidu­pan biasa. Ia merupakan satu proses kehidupan yang lain dari­pada yang lain. Ia menuntut penalaran luar biasa, menuntut ke­kuatan syaraf istimewa pula.
Kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. penuh dengan ledakan-ledakan luar biasa, keagungan dan hal-hal mempesona­kan. Tetapi bersamaan dengan itu juga penuh dengan gelombang kekecewaan dan kengerian.
Oleh karena itu penulisan tentang semua segi kehidupannya menjadi benar-benar tidak mudah. Ditambah pula dengan adanya pihak-pihak yang menilai beliau secara berlebih-lebihan. Baik dalam memujinya maupun dalam mencacinya.
Imam Ali bin Abi Thalib r.a. sendiri tidak senang pada orang-­orang yang menilai diri beliau secara berlebih-lebihan. Hal itu ter­cermin dengan jelas dari kata-kata beliau: “Ada dua fihak yang celaka karena berlebih-lebihan menilai sesuatu yang sebenarnya tidak kumiliki. Sedangkan pihak yang lain ialah yang demikian bencinya kepadaku sehingga mereka melontarkan segala kebo­hongan tentang diriku.”
Dari sini pulalah maka Imam Ali r.a. mengatakan: “Ada se­golongan orang yang demi cintanya kepadaku mereka bersedia masuk neraka. Tetapi ada segolongan lain yang demi kebencian­nya kepadaku sampai-sampai mereka itu bersedia masuk neraka.”
Ada dua faktor yang menyebabkan timbulnya pertentangan penilaian mengenai menantu dan sekaligus saudara misan Rasul Allah s.a.w. itu. Dua faktor itu ialah sifat atau watak pribadi Imam Ali r.a. sendiri dan situasi serta kondisi kehidupan Islam pada za­man hidupnya tokoh penting Islam itu.
Faktor mana yang lebih dominan, sehigga pribadi Imam Ali r.a. mempunyai kedudukan yang unik dalam sejarah Islam sulit dikatakan. Yang jelas kedua faktor itu memegang peran penting dan memberi arti khusus yang pengaruhnya hingga kini masih te­rasa. Bahkan sejak meninggalnya pada tahun 40 Hijriyah pendapat yang kontroversial mengenai dirinya itu tidak mereda, malahan makin berkembang sehingga sangat mewarnai sejarah Islam sampai abad ke-15 Hijriyah sekarang ini.
Periode kehidupan Imam Ali r.a. ditandai dengan tantangan-­tantangan yang dihadapi oleh ummat Islam, terutama setelah wafatnya Rasul Allah s.a.w. Belum lagi jenazah Rasul Allah s.a.w. dimakamkan telah muncul krisis. Dan krisis itu disusul pula oleh krisis-krisis lain. Ancaman dari dalam dan dari luar sangat membahayakan kedudukan Islam yang masih muda itu.
Pertentangan pribadi, qabilah, suku, golongan, bangsa dan antar-negara bermunculan hampir secara simultan. Keseimbang­an kehidupan rohani dan jasmani, masalah keagamaan dan ke­negaraan yang serasi dan seimbang di bawah satu pimpinan, yaitu di tangan Rasul Allah s.a.w. semasa hidupnya, tiba-tiba saja meng­alami kegoncangan, ketidak-seimbangan dan ketidak-serasian.
Proses kristalisasi dan disintegrasi yang menyusul wafatnya Rasul Allah s.a.w. dihadapkan pada tokoh-tokoh terkemuka ummat Islam, yang selama itu merupakan pembantu-pembantu terdekat Rasul Allah s.a.w. Diantaranya Imam Ali r.a. sebagai salah satu tokoh yang menonjol dan dekat sekali dengan Rasul Allah s.a.w. Dan dialah salah seorang yang paling merasa berkepentingan terhadap kemaslahatan Islam dan ummatnya. Sebab dialah yang paling dini melibatkan diri sebagai pengikut setia Nabi Mu­hammad s.a.w.
Awal tahun Hijriyah ditandai oleh peranan Imam Ali r.a. Malam sebelum Rasul Allah s.a.w. melakukan hijrah ke Madinah, yang sangat bersejarah itu, rumah kediaman beliau dikepung rapat oleh para pemuda Qureiys: Mereka bertekad hendak membunuh nabi Muhammad s.a.w. Pada saat itulah Rasul Allah s.a.w. meme­rintahkan Imam Ali r.a. supaya mengenakan mantel hijau buatan Hadramaut dan agar saudara misannya itu berbaring di tempat tidur beliau. Imam Ali r.a. dengan kebanggaan dan keberanian­nya melaksanakan tugas tersebut.
Ketika para pemuda Qureisy yang berniat jahat itu mengintip, mereka mengira Rasul Allah s.a.w. berada di dalam. Padahal se­benarnya saat itu Rasul Allah s.a.w. telah berhasil menyelinap keluar menuju ke rumah Abu Bakar r.a.
Ketaatannya kepada Rasul Allah s.a.w. dan keberaniannya pada malam hijrah itu bukan merupakan kasus tersendiri. Pada masa-masa hidupnya lebih lanjut, faktor keberanian ini sangat me­warnai kehidupan Imam Ali r.a. Dasar-dasar keberanian ini tambah diperkuat oleh keyakinannya yang makin teguh pada kebenaran ajaran Rasul Allah s.a.w. dan ketaqwaannya pada Allah s.w.t.
Ketaatannya pada Rasul Allah s.a.w. dan keberaniannya dalam membela serta menegakkan kebenaran-kebenaran agama Allah merupakan pendorong utama, sehingga kemudian ia diagungkan oleh pengikut-pengikutnya sebagai pahlawan besar ummat Islam.
Hal itulah yang antara lain telah menimbulkan perbedaan penilaian yang hasilnya melahirkan perselisihan pendapat. Yang menilai positif melambangkan Imam Ali r.a. sebagai contoh tokoh yang paling ideal, pelanjut cita-cita dan perjuangan Rasul Allah. Kemudian eksesnya menjadi berlebih-lebihan, sehingga sama sekali tidak disukai oleh yang bersangkutan sendiri.
Sebaliknya mereka yang menilai negatif, Imam Ali r.a. me­reka anggap sebagai tokoh yang amat berambisi untuk mendapat kedudukan memimpin ummat Islam. Penilaian terakhir ini meng­undang sifat-sifat kebencian dan menjurus ke permusuhan, dan akhirnya memuncak dalam bentuk peperangan melawan Imam Ali r.a.
Kepribadian dan watak Imam Ali r.a. yang unik itulah yang mengembangkan pendapat ekstrim tentang dirinya. Yang me­ngaguminya, kemudian memitoskan dan mendewakannya. Tidak jarang, karena ekses penyanjungan kepada Imam Ali r.a. akhirnya secara sadar atau tidak sadar golongan ini mengaburkan peran agung Rasul Allah s.a.w. Sebaliknya yang membenci Imam Ali r.a. melahirkan ekses mengkafirkannya.
Dua fihak yang sangat bertentangan penilaian terhadap Imam Ali r.a. tercermin pada dua kelompok yang terkenal dalam sejarah Islam.
Kaum Rawafidh bukan saja pengagum Imam Ali r.a., malahan boleh dibilang sebagai “kaum penyembah Imam Ali r.a.” Semasa hidupnya, Imam Ali r.a. sendiri sudah berulang kali me­larang tindak dan sikap mereka yang sangat keliru itu, tetapi sikap Imam Ali r.a. yang tidak mau disanjung dan disembah itu bahkan mereka nilai sebagai sikap yang agung. Imam Ali r.a. sampai-sam­pai mengingatkan mereka bahwa apa yang mereka lakukan itu syirik. Peringatan itu sama sekali tidak menyurutkan pendirian mereka.
Begitu fanatiknya mereka kepada Imam Ali r.a. sehingga me­reka bersedia mengorbankan segala-galanya demi tegaknya pen­dirian itu. Bahkan ketika mereka dijatuhi hukuman dengan di­bakar hidup-hidup, hukuman itu mereka terima dengan penuh ketaatan. Di tengah kobaran api unggun yang membakar diri mereka di depan umum, dengan penuh gairah mereka berseru: “Dia (Imam Ali) adalah tuhan. (Sebab) dialah yang menetapkan adzab neraka ini”. Mereka rela mati dibakar dengan penuh ke­ikhlasan. Mereka memandang layak hukuman demikian dijatuhkan oleh “tuhan” mereka sendiri.[1]
Sangat berlawanan dengan kaum Rawafidh ini, adalah pen­dirian golongan Nawasib dan Khawarij yang sangat benci kepada Imam Ali r.a. Ironisnya, kaum Khawarij ini sebelumnya justru me­rupakan pengikut Imam Ali r.a. yang paling setia dan taat. Mula­mula mereka sangat cinta, kagum, taat dan setia. Lalu berbalik 180 derajat menjadi muak, benci, mengutuk, bahkan mengkafirkan Imam Ali r.a. Itu terjadi ketika tokoh yang mereka kagumi itu bersedia menerima “perdamaian” dengan Muawiyah. Peristiwa yang dalam sejarah terkenal sebagai “Tahkim bi Kitabillah”.
Kaum Khawarij itu menuntut kepada Imam Ali r.a. agar ia bertaubat kepada Allah atas perbuatan salah yang dilakukannya (mengadakan perdamaian dengan Muawiyah). Begitu mendalam­nya kebencian mereka sehingga pada kesempatan apa, kapan dan di mana saja mereka melancarkan kecaman pedas dan memaki habis. Bahkan sejarah mencatat, Imam Ali r.a. wafat akibat pem­bunuhan yang dilakukan golongan Khawarij.
Sulit untuk dicari bahan bandingan bagi seorang tokoh yang begitu hebat menimbulkan pertentangan pendapat seperti yang ada pada diri Imam Ali r.a. Lebih sulit lagi untuk menarik ke­simpulan dari kenyataan ini. Apakah karena ia orang besar, maka timbul pertentangan pendapat yang begitu hebat? Ataukah karena adanya pertentangan pendapat itu hingga ia menjadi mitos. Ke­nyataan adanya pertentangan pendapat itu sendiri sudah mengung­kapkan, bahwa Imam Ali r.a. adalah tokoh potensial sekali, khususnya bagi ummat Islam.
Juga merupakan ironi sejarah, salah seorang yang pertama-­tama berperan vital dalam membela Islam, akhirnya dijatuhkan oleh seorang yang ayahnya justru paling memusuhi Islam ketika Rasul Allah s.a.w. mulai dengan da’wahnya. Orang yang sejak masa anak-anak sudah mempertaruhkan segala-galanya demi tegak dan berkembangnya Islam, kepemimpinannya direbut oleh orang-­orang yang pada awal Islam paling gigih menentang.
Lebih menyedihkan lagi karena orang yang melawan Imam Ali r.a. menempuh segala usaha dan tipu-daya “dengan mengatas-namakan Islam”. Lebih parah lagi karena dengan “mengatas-nama­kan Islam” selama 136 tahun, kekuasaan Bani Umayyah, nama Imam Ali ditabukan, direndahkan dan dihina. Pada setiap khut­bah, pada setiap doa sehabis shalat tidak pernah ditinggalkan cacian dan kutukan terhadap Imam Ali agar ia disiksa Allah.
Bahkan nama Imam Ali digunakan oleh dinasti Bani Umay­yah untuk menegakkan kekuasaan otoriter. Tiap orang atau ke­lompok yang berani menentang, atau tidak sependapat dengan kebijaksanaan penguasa Bani Umayyah dapat ditindak dengan menggunakan dalih “pengikut Imam Ali” (Pecinta Ahlulbait).
Siapa yang mempelajari sejarah Imam Ali r.a. dengan jujur, pasti akan menemukan pada dirinya salah satu segi yang khas ada pada kehidupan tokoh legendaris itu. Nama Imam Ali r.a. identik dengan sifat-sifat manusiawi yang mendalam. Baik sejarah sendiri, maupun sejarawan tidak cukup mampu mengungkapkannya. Kait­an yang seperti itu biasanya oleh seorang penulis terpaksa dike­sampingkan saja dengan penuh kesadaran dan kebijaksanaan.
Makin berkurangnya faktor-faktor kejiwaan yang menyulit­kan pembahasan dan makin dibatasinya segi-segi sejarah yang hendak ditulis, bisa jadi lebih mendekati objektivitas. Tetapi apakah begitu jadinya?
Para sejarawan mengungkapkan bahwa pada ghalibnya makin lama seorang telah meninggal akan lebih mudah ditemukan objek­tivitas untuk pengungkapan riwayat orang yang bersangkutan. Akan tetapi kalau menyangkut Imam Ali r.a. hal itu masih diper­tanyakan.
Dalam batas-batas pengungkapan yang demikianlah, buku “Imam Ali bin Abi Thalib r.a.” ini mengetengahkan riwayat ke­hidupan Imam Ali pada masa asuhan, keluarganya, rumah-tangga­nya, peranan kepahlawanannya semasa Rasul Allah masih hidup, wafatnya Rasul Allah s.a.w., masa-masa kekhalifahan Abu Bakar r.a., Umar r.a., Utsman r.a., delapan hari tanpa khalifah, Perang Unta, Perang Shiffin, Gerakan Khawarij, keutamaan, pintu ilmu dan sebuah kenangan.
BAB 01 : MASA ASUHAN
Dengan membaca buku-buku riwayat atau sejarah, kita akan mengenal tokok-tokoh pembela kebenaran dan keadilan: yang lebih mementingkan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, tanpa pamrih dan bersedia mengorbankan diri untuk membela keyakinan yang dirasa benar dan adil.
Juga dengan membaca buku-buku riwayat atau sejarah, kita akan mengenal orang-orang yang senantiasa memusuhi kebe­naran dan keadilan, yang lebih mementingkan kepentingan priba­di daripada kepentingan umum dan hanya memikirkan keuntung­an saja tanpa memperdulikan halal atau haramnya sesuatu.
Dua macam sifat atau watak seperti di atas, tidak mungkin mendadak lahir setelah dewasa saja. Sifat tersebut lahir melalui proses. Hal ini juga berlaku bagi Imam Ali r.a.
Untuk mengetahui bagaimana proses Imam Ali bin Abi Thalib r.a. menjadi seorang pahlawan Islam yang tangguh, hingga dijadi­kan suri-tauladan oleh para pejuang Islam, marilah kita ikuti sejak kelahirannya, masa kanak-kanaknya, masa remajanya dan kemu­dian setelah dewasa.
Putera Ka’bah
Telah menjadi keyakinan orang yang beragama, bahwa ma­nusia dapat merencanakan sesuatu dan berusaha mewujudkan rencananya. Akan tetapi apakah rencana tersebut akan tercapai atau gagal, manusia yang merencanakan tadi tak dapat menentu­kannya. Penentuan terakhir di tangan Allah s.w.t.
Banyak orang yang ingin agar isterinya dapat melahirkan putera atau puteri di tempat tertentu dan disaksikan oleh kelu­arga yang lengkap. Apakah keinginan atau rencana orangtua itu akan tercapai, Allah s.w.t. yang menentukan.
Bagaimana halnya dengan kelahiran Imam Ali r.a.? Di mana beliau dilahirkan? Di rumah Abu Thalib atau di tempat lain?
Tentang tempat kelahiran Imam Ali r.a., A1 Hakim dalam buku “Al Mustadrak”, jilid III, halaman 483, antara lain menge­mukakan: Ketika itu hari Jum’at, 13 bulan Rajab, 12 tahun sebelum Nabi Muhammad s.a.w. mendapat risalah. Seorang wanita, meskipun perutnya nampak besar sekali, bersama suaminya me­lakukan tawaf mengelilingi Ka’bah. Wanita yang bernama Fatimah itu tiba-tiba merasakan perutnya sakit. Ketika rasa sakitnya ber­tambah, segera diberitahukan kepada suaminya, Abu Thalib. Men­dengar keluhan itu, Abu Thalib segera menggandeng isterinya masuk ke dalam Ka’bah. Menurut perkiraan, isterinya kelelahan. Diharapkan dengan beristirahat sebentar rasa sakitnya akan ber­kurang.
Kenyataannya tidak seperti yang diperkirakan Abu Thalib. Perut Fatimah bertambah sakit. Fatimah yang sudah berkali-­kali melahirkan, telah mengerti isyarat apa yang sedang dialaminya. Sebagai seorang wanita yang shaleh, ia tidak mengung­kapkan isyarat itu kepada suaminya. Dia khawatir jika suaminya tahu, tentu maksud suaminya menyelesaikan tawaf akan tergang­gu. Ia tidak ingin berbuat demikian. Suaminya tetap dianjurkan menyelesaikan tawafnya.
Dalam keheningan dan keredupan Baitullah, rumah Allah, Fatimah merasa perutnya bertambah mulas. Disaat itu yang ter­ingat di hati Fatimah ialah bahwa rasa sakitnya akan berkurang dengan datangnya pertolongan Allah. Fatimah segera mengangkat tangan, yang sebelumnya memegang perut untuk menahan rasa sakit dan dengan suara sayu tersengal-sengal berucap: “Ya Allah, Ya Tuhanku. Aku bernaung kepada-Mu, kepada utusan-utusan­-Mu dan Kitab-kitab yang datang dari-Mu. Aku percaya kepada ucapan datukku Ibrahim, pendiri rumah ini. Maka demi pendiri rumah ini dan demi jabang bayi yang ada di dalam perutku, aku mohon kepada-Mu untuk dimudahkan kelahirannya”.[1]
Beberapa saat seusai mengucapkan doa, lahirlah bayi dengan selamat. Bayi ini adalah putra ke-empat dari Fatimah. Sepan­jang ingatan orang, inilah untuk pertama kali seorang wanita me­lahirkan puteranya dalam Ka’bah. Kelahiran bayi ini hanya disak­sikan oleh ayah bundanya saja.
Kejadian yang luar biasa ini, beritanya segera tersiar ke ber­bagai penjuru. Berbondong-bondonglah mereka, terutama keluarga Bani Hasyim, datang ke Ka’bah, guna menyaksikan bayi yang baru lahir. Di antara yang datang ialah Nabi Muhammad s.a.w. Bayi ini saudara misan beliau sendiri. Beliau menggendong bayi terse­but, kemudian bersama ayah-ibunya pulang ke rumah Abu Thalib.
Meskipun bayi ini merupakan putera keempat, namun oleh ayahnya dipandang sebagai kurnia besar yang dilimpahkan Allah s.w.t. kepada keluarganya. Kegembiraan Abu Thalib ini tercermin dari perintah yang segera dikeluarkan untuk menyelenggarakan pesta walimah. Guna memeriahkan pesta itu, beberapa ekor ter­nak dipotong. Pemuka-pemuka Qureiys diundang mengunjungi pesta itu, sebagai penghormatan atas kelahiran puteranya. Pada kesempatan itulah Abu Thalib mengumumkan pemberian nama “Ali” kepada puteranya yang baru lahir. “Ali” berarti “lu­hur”.
Nama dan Gelarnya
Sesungguhnya, sebelum berlangsung pesta walimah, di mana Abu Thalib mengumumkan nama “Ali” bagi puteranya yang keempat itu, Fatimah telah memberi nama “Haidarah”, yang berarti “Singa”. Satu nama yang diambil persamaannya dari nama Asad, nama datuknya dari pihak ibu, yang juga berarti “Singa”.
Sementara orang mengatakan, bahwa yang memberi nama “Haidarah” ialah orang-orang Qureiys. Tetapi sejarah membukti­kan, bahwa nama “Haidarah” itu sesungguhnya pemberian ibu­nya sendiri.
Bukti sejarah ini dapat diketahui dari peristiwa perang-tan­ding, seorang lawan seorang, antara Imam Ali r.a. melawan Marha­ban. Dalam perang-tanding itu Marhaban mengagul-agulkan diri dengan bait syairnya: “Aku inilah yang diberi nama Marhaban oleh ibuku!” Imam Ali r.a. segera menukas dan melanjutkan bait syair itu dengan kata-katanya: “Aku inilah yang diberi nama Hai­darah oleh ibuku!”
Hanya saja nama yang diberikan ibunya menjadi tenggelam sesudah pengumuman ayahnya dalam pesta walimah, yaitu “Ali”. Ia lebih terkenal dengan nama Ali bin Abi Thalib.
Ketika di bawah asuhan Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. per­nah diberi julukan “Abu Turab”, yang artinya “Si Tanah”. Pembe­rian julukan itu erat kaitannya dengan peristiwa ditemuinya Imam Ali r.a. di satu hari sedang tidur berbaring di atas tanah. Yang menemuinya Nabi Muhammad s.a.w. sendiri. Beliau mengham­pirinya dan duduk dekat kepalanya sambil mengusap-usap pung­gungnya guna membuang debu-tanah. Kemudian Nabi Muham­mad s.a.w. membangunkannya seraya berkata: “Duduklah, engkau hai Abu Turab!”
Nama Abu Turab ini paling disukai oleh Imam Ali r.a. Ia sangat bangga bila dipanggil dengan nama itu. Menurut Al Bashri, nama Abu Turab ini di kemudian hari oleh orang-orang Bani Umayyah dijadikan bahan ejekan guna merendahkan martabat Khalifah Imam Ali r.a. Mereka mengatakan, bahwa pemberian nama Abu Turab” oleh Rasul Allah s.a.w. merupakan bukti tentang ke­kurangan dan kelemahan fitrahnya.
Disamping nama-nama tersebut di atas, Imam Ali r.a. juga ter­kenal dengan panggilan Abul Hasan. Ini terjadi, setelah kelahiran putera beliau, Al Hasan. Selain dari nama-nama tersebut di atas; Imam Ali r.a. banyak sekali mendapat gelar dan yang paling popu­ler hingga sekarang ialah “Imam”.
Di bawah Naungan Wahyu
Ketika Imam Ali r.a. menginjak usia 6 tahun, Makkah dan se­kitarnya dilanda paceklik hebat. Sebagai akibatnya, kebutuhan pangan sehari-hari sulit diperoleh. Bagi mereka yang berkeluarga besar dan ekonomi lemah, seperti keluarga Abu Thalib, pukulan paceklik terasa parah sekali.
Pada masa paceklik ini, Nabi Muhammad s.a.w. telah beru­mah tangga dengan Sitti Khadijah binti Khuwalid r.a. Beliau tak dapat melupakan budi pamannya yang telah memelihara dan mengasuh beliau sejak kecil hingga dewasa. Bertahun-tahun beliau hidup di tengah-tengah keluarga Abu Thalib, mengikuti suka-dukanya dan mengetahui sendiri bagaimana keadaan penghi­dupannya.
Dalam suasana paceklik ini, Nabi Muhammad s.a.w. menyada­ri betapa beratnya beban yang dipikul pamannya, Abu Thalib, yang sudah lanjut usia. Hati beliau terketuk dan segera mengambil langkah untuk meringankan beban pamannya.
Nabi Muhammad s.a.w. mengetahui, bahwa Abbas bin Abdul Mutthalib, juga paman beliau, adalah seorang terkaya di kalangan Bani Hasyim. Dibanding dengan saudara-saudaranya, Abbas mem­punyai kemampuan ekonomis yang lebih baik. Dengan tujuan untuk meringankan beban Abu Thalib, beliau temui Abbas bin Abdul Mutthalib. Kepada pamannya itu beliau kemukakan betapa berat derita yang ditanggung Abu Thalib sebagai akibat paceklik. Kemudian, dalam bentuk pertanyaan, Nabi Muhammad s.a.w berkata: “Bagaimana paman, kalau kita sekarang ini meringankan bebannya? Kusarankan agar paman mengambil salah seorang anaknya. Aku pun akan mengambil seorang.”
Abbas bin Abdul Mutthalib menyambut baik saran Nabi Mu­hammad s.a.w. Setetah melalui perundingan dengan Abu Thalib, akhirnya terdapat kesepakatan: Ja’far bin Abi Thalib diserah­kan kepada Abbas, sedang Ali bin Abi Thalib r.a. diasuh oleh Nabi Muhammad s.a.w.
Sejak itu Imam Ali r.a. diasuh oleh Nabi Muhammad s.a.w. dan isteri beliau, Sitti Khadijah binti Khuwailid r.a. Bagi Imam Ali r.a. sendiri lingkungan keluarga yang baru ini, bukan merupa­kan lingkungan asing. Sebab Nabi Muhammad sendiri dalam masa yang panjang pernah hidup di tengah-tengah keluarga Abu Thalib. Malahan yang menikahkan Nabi Muhammad s.a.w. dengan Sitti Khadijah binti Khuwalid r.a., juga Abu Thalib.
Bagi Nabi Muhammad s.a.w., Imam Ali r.a. bukan hanya sekedar saudara misan, malahan dalam pergaulan sudah merupakan saudara kandung. Lebih-lebih setelah dua orang putera lelaki beliau, Al Qasim dan Abdullah, meninggal. Betapa besar kasih sa­yang yang beliau curahkan kepada putera pamannya itu dapat diukur dari berapa besarnya kasih-sayang yang ditumpahkan Abu Thalib kepada beliau. Bahkan pada waktu dekat menjelang bi’tsah, Nabi Muhammad s.a.w. sering mengajak Imam Ali r.a. menyepi di gua Hira, yang terletak dekat kota Mekkah. Ada kalanya Imam Ali r.a. diajak mendaki bukit-bukit sekeliling Makkah guna menik­mati keindahan dan kebesaran ciptaan Allah s.w.t.
Sejak usia muda Imam Ali r.a. sudah menghayati indahnya kehidupan di bawah naungan wahyu Illahi, sampai tiba saat ke­matangannya untuk menghadapi kehidupan sebagai orang dewasa. Selama masa itu beliau mengikuti perkembangan yang dialami Rasul Allah s.a.w. dalam kehidupannya.
Sungguh merupakan saat yang sangat menguntungkan bagi pertumbuhan jiwa Imam Ali r.a. dengan berada di dalam ling­kungan keluarga termulia itu. Periode yang paling berkesan dalam kehidupan Imam Ali r.a. adalah dimulai dari usia 6 tahun sam­pai Nabi Muhammad s.a.w. menerima wahyu pertama dari Allah s.w.t. Imam Ali r.a. mendapat kesempatan yang paling baik, yang tidak pernah dialami oleh siapa pun juga, ketika Nabi Mu­hammad s.a.w. sedang dipersiapkan Allah s.w.t. untuk mendapat tugas sejarah yang maha penting itu.
Imam Ali r.a. menyaksikan dari dekat saudara misannya me­laksanakan ibadah kepada Allah s.w.t dengan cara yang berbeda sama sekali dari tradisi dan kepercayaan orang-orang Makkah ke­tika itu. Imam Ali r.a. menyaksikan juga betapa saudara misannya menjauhi kehidupan jahiliyah, menjauhi kebiasaan minum kha­mar, menjauhi perzinahan. Selain itu, dengan mata kepala sendiri Imam Ali r.a. menyaksikan dan mengikuti perkembangan jiwa dan fikiran Nabi Muhammad s.a.w.
Semua warisan yang telah diterima Imam Ali r.a. dari para orangtuanya, kini berkembang mekar di hadapan seorang maha guru yang cakap dan bijaksana, yaitu putera pamannya sendiri. Manusia terbesar di dunia itulah yang menghubungkan diri Imam Ali r.a. dengan Allah s.w.t.
Masa Kanak-kanak
Tentang usia Imam Ali r.a. ketika Rasul Allah s.a.w. mulai melakukan da’wah risalah, terdapat riwayat yang berlainan. Se­bagian riwayat mengatakan, bahwa Imam Ali r.a. pada waktu itu masih berusia 10 tahun. Sementara ahli sejarah lain mengatakan, Imam Ali r.a. ketika itu telah berusia 13 tahun. Yang terakhir ini antara lain ditegaskan oleh Syeikh Abul Qasyim Al Balakhiy.
Masalah usia Imam Ali r.a. ini banyak dipersoalkan oleh pe­nulis sejarah, karena ada kaitannya dengan penilaian: apakah Imam Ali memeluk agama Islam di masa kanak-kanak ataukah sete­lah akil baligh. Tampaknya riwayat yang lebih kuat mengatakan bahwa Imam Ali r.a. telah berusia 13 tahun pada waktu Rasul Allah s.a.w. memulai da’wahnya.
Pada waktu Nabi Muhammad s.a.w. menerima tugas da’wah Ilahiyah, Imam Ali r.a. menyambutnya tanpa bimbang dan ragu. Hal itu dimungkinkan karena lama sebelumnya ia telah langsung hidup di bawah naungan Rasul Allah s.a.w. Bila ada hal yang ke­tika itu tidak mudah difahami Imam Ali r.a. hanyalah mengenai cara-cara pelaksanaan risalah dan beban tanggung jawab yang ha­rus dipikulnya sebagai orang beriman.
Pada waktu Rasul Allah s.a.w. menerima perintah Allah s.w.t. supaya melakukan da’wah secara terbuka dan terang-terangan, Imam Ali r.a. ikut ambil bagian sebagai pembantu. Imam Ali r.a. antara lain menyampaikan seruan-seruan Rasul Allah s.a.w. kepada sejumlah orang tertentu di kalangan anggota-anggota keluarga­nya.
Tentang hal yang terakhir ini, ibnu Hisyam dalam riwayatnya mengemukakan, bahwa Imam Ali r.a. pernah mengatakan dengan jelas, bahwa Rasul Allah s.a.w. secara rahasia memberi tahu kepada siapa saja yang mau menerima dari kalangan anggota-anggota ke­luarga dan familinya, mengenai nikmat kenabian yang dilimpahkan Allah kepada beliau dan kepada umat manusia melalui beliau.
Untuk itu Rasul Allah s.a.w. menyampaikan da’wahnya le­bih dahulu kepada anggota-anggota keluarga yang paling dekat, yaitu isterinya sendiri Sitti Khadijah r.a. dan saudara misan asu­hannya, Imam Ali r.a. Setelah kepada dua orang itu, barulah ke­pada Zaid bin Haritsah, putera angkatnya.
Imam Ali r.a. sendiri sebagai orang yang paling dini mela­kukan tugas da’wah membantu Rasul Allah s.a.w. pernah mene­rangkan, bahwa pada masa itu tidak ada satu rumah pun yang menghimpun anggota-anggota keluarga dalam agama Islam, selain rumah-tangga Rasul Allah s.a.w. dan Khadijah r.a. “Dan akulah orang ketiga dalam rumah itu. Aku menyaksikan langsung cahaya wahyu dan risalah serta mencium semerbaknya bau kenabian” demikian kata Imam Ali r.a.
Ali bin Al Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Imam Ali r.a., melalui sebuah riwayat memberitahukan kapan datuknya mulai memeluk agama Islam. Ia mengatakan: “Ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tiga tahun lebih dulu sebelum orang lain.”
Masa Remaja
Dari sejarah hidupnya, sejak usia kanak-kanak langsung mene­rima asuhan Rasul Allah s.a.w., tidak ada keraguan lagi, bahwa I­mam Ali r.a. merupakan orang yang paling dini menerima hida­yah Ilahi, paling dulu beriman dan bersujud kepada-Nya. Para pe­neliti buku-buku riwayat akan menemukan kenyataan tersebut dan dapat mengetahuinya dengan jelas.
Dalam masa remaja, Imam Ali r.a. sudah aktif membantu da’­wah Rasul Allah s.a.w. Menurut Abdullah bin Abbas, Imam Ali r.a. sendiri pernah menceritakan tentang hal itu sebagai berikut:
“Setelah turun ayat 214 Surah Asy Syura (perintah Allah kepada Rasul-Nya supaya memperingatkan kaum kerabat yang terdekat), beliau memanggil aku. Kemudian berkata: “Hai Ali, Allah telah memerintahkan supaya aku memberi peringatan kepa­da kaum kerabatku yang terdekat. Aku merasa agak sedih, sebab aku tahu, jika aku berseru kepada mereka melaksanakan perin­tah itu, aku akan mengalami sesuatu yang tidak kusukai. Oleh ka­rena itu aku diam saja sampai datanglah Jibril yang berkata kepa­daku, “Hai Muhammad, jika engkau tidak berbuat seperti yang di­perintahkan kepadamu, Tuhan akan menjatuhkan adzab kepada­mu.” Oleh karena itu, hai Ali, buatlah makanan. Masaklah paha kambing dan sediakan untuk kita susu sewadah besar. Setelah itu kumpulkan keluarga Bani Abdul Mutthalib. Mereka hendak kuajak bicara dan akan kusampaikan apa yang diperintahkan Allah kepadaku.”
“Semua yang diperintahkan beliau kepadaku, kukerjakan segera. Kemudian anggota-anggota keluarga Bani Abdul Muttalib kuundang supaya hadir. Jumlah mereka yang hadir kurang lebih 40 orang. Di antara mereka itu terdapat para paman Rasul Allah s.a.w., seperti Abu Thalib, Hamzah, Abbas dan Abu Lahab. Se­telah semuanya berkumpul, Rasul Allah s.a.w. memanggilku dan memerintahkan supaya makanan segera dihidangkan. Hidang­an itu kusajikan. Rasul Allah s.a.w. mengambil sepotong daging, lalu diletakkan kembali pada tepi baki. Beliau mempersilakan mereka mulai menikmati hidangan: ‘Silakan kalian makan, Bismillah!’ Mereka semua makan dan minum sekenyang-kenyang­nya. Demi Allah, mereka masing-masing makan dan minum seba­nyak yang kuhidangkan.”
“Ketika Rasul Allah s.a.w. hendak mulai berbicara beliau didahului oleh Abu Lahab. Abu Lahab berkata kepada ha­dirin dengan sinis: “Kalian benar-benar sudah disihir oleh sauda­ra kalian!”
“Karena ucapan Abu Lahab semua yang hadir pergi me­ninggalkan tempat. Keesokan harinya aku diperintahkan lagi oleh Rasul Allah s.a.w. supaya mempersiapkan segala sesuatunya seperti kemarin. Setelah semua makan minum secukupnya, Nabi Muhammad s.a.w. berkata kepada mereka: “Hai Bani Abdul Mutthalib. Demi Allah, aku tidak pernah mengetahui ada seo­rang pemuda dari kalangan orang Arab, yang datang kepada ka­umnya membawa sesuatu yang lebih mulia daripada yang kuba­wa kepada kalian. Untuk kalian aku membawa kebajikan dunia dan akhirat. Allah memerintahkan aku supaya mengajak kalian ke ­arah itu. Sekarang, siapakah di antara kalian yang mau membantu­ku dalam persoalan itu dan bersedia menjadi saudaraku, penerima wasiatku dan khalifahku?”
“Semua yang hadir bungkam. Hanya aku sendiri yang menjawab: “Aku !” Waktu itu aku seorang yang paling muda usianya dan masih hijau. Kukatakan lagi: “Ya, Rasul Allah, aku­lah yang menjadi pembantumu!” Beliau mengulangi ucapannya dan aku pun mengulangi kembali pernyataanku. Rasul Allah s.a.w. kemudian memegang tengkukku, seraya berseru kepada semua yang hadir: “Inilah saudaraku, penerima wasiatku dan khalifahku atas kalian!” Semua yang hadir berdiri sambil ter­tawa terbahak-bahak. Mereka berkata hampir serentak kepada Abu Thalib: “Hai Abu Thalib! Dia (yakni Muhammad) menyuruhmu supaya taat kepada anakmu!”
Hadis yang senada dengan apa yang dikemukakan Abdullah bin Abbas, juga diriwayatkan oleh Abu Ja’far At Thabary dalam bukunya “At Tarikh”.[2]
Itulah sekelumit riwayat tentang seorang muda remaja yang kemudian hari bakal menjadi pemimpin ummat Islam. Seorang pemimpin yang dihormati tidak saja oleh kaum muslimin, tetapi juga oleh para ahludz dzimmah, yaitu kaum Nasrani dan kaum Yahudi yang bersedia hidup damai di bawah pemerintahan Islam.
Di depan Abu Lahab, orang yang selama ini selalu meng­ancam-ancam dan menuntut supaya Rasul Allah s.a.w. meng­hentikan da’wahnya, Imam Ali r.a. yang masih remaja itu berani menyatakan dukungan dan bantuannya kepada Nabi Muhammad s.a.w.
[1]“Kasyful Ghommah”, jilid I.
[2] Hadits tersebut merupakan hujjah golongan Syi’ah.
[1]Golongan ini disebut “Alkisaniyyah” yang sudah punah. Semenjak abad III hijriyah.
Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam
Jl. Blora 29, Jakarta
Oktober 1981

http://tausyah.wordpress.com

0 komentar:

Post a Comment