Sunday, 13 January 2013

SOE HOK GIE, antara sebuah Idealisme dan Realitas Politik


Oleh: Sapto Raharjanto*
SOE HOK GIE adalah merupakan sebuah fenomena besar didalam  sejarah dunia gerakan kepemudaan di Indonesia terutama gerakan Mahasiswa, dimana Soe Hok Gie adalah seorang tokoh yang mewakili gerakan pemuda pasca angkatan 45 (angkatan 66),… tetapi ada suatu fenomena menarik dan kontroversial dari Soe Hok Gie, yaitu sebenarnya bagaimana pola perjuangan dari Soe Hok Gie sendiri, apakah ia seorang Sosialis, Marxist/Komunis???….hal tersebut sampai saat ini masih merupakan sebuah misteri besar, lalu apakah ia hanya seseorang yang memperjuangkan tegaknya keadilan dan kebenaran  bagi rakyat yang tertindas oleh kediktatoran dan kesewenang-wenangan penguasa di bumi pertiwi ini……
Sosok Soe Hok Gie sendiri dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942,  Anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, ini sejak kecil amat suka membaca, mengarang dan memelihara binatang. Keluarga sederhana itu tinggal di bilangan Kebonjeruk, di suatu rumah sederhana di pojokan jalan, bertetangga dengan rumah orang tua Teguh Karya. Saudara laki-laki satu-satunya  Soe Hok Djien, kakaknya, yang kini kita kenal sebagai Arief Budiman. Sejak SMP, ia menulis buku catatan harian, termasuk surat- menyurat dengan kawan dekatnya. Semakin besar, ia makin berani menghadapi ketidakadilan, termasuk melawan tindakan semena-mena sang guru. Sekali waktu, Soe pernah berdebat dengan guru SMP-nya. Tentu saja guru itu naik pitam.
Dalam catatan hariannya, ia menulis: Guru model begituan, yang tidak tahan dikritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau. Begitu tulis anak muda yang sampai hari ajalnya, tetap tak bisa mengendarai sepeda motor, apalagi nyupir mobil. “Gue cuma bisa naik sepeda, juga pandai nggenjot becak.”. Sikap kritisnya semakin tumbuh ketika dia mulai berani mengungkit kemapanan. Misalnya, saat dirinya menjelang remaja, Soe menyaksikan seorang pengemis sedang makan kulit buah mangga. Dia pun merogoh saku, lalu memberikan uangnya yang cuma Rp 2,50 kepada pengemis itu. Di catatannya ia menulis: Ya, dua kilometer dari pemakan kulit mangga, ‘paduka’ kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik-cantik. Aku besertamu orang-orang malang. Bacaan dan pelajaran yang diterimanya membentuk Soe menjadi pemuda yang percaya bahwa hakikat hidup adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dan dapat merasai kedukaan itu. Soe melewatkan pendidikannya di SMA Kanisius.    Tahun 1962 - 1969 ia melanjutkan studinya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah. dan masuk kedalam organisasi Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMSOS). Sementara keadaan ekonomi makin kacau. Soe resah. Dia mencatat: Kalau rakyat Indonesia terlalu melarat, maka secara natural mereka akan bergerak sendiri. Dan kalau ini terjadi, maka akan terjadi chaos. Lebih baik mahasiswa yang bergerak. Maka lahirlah sang demonstran.   
Hari-harinya diisi dengan program demo, termasuk rapat penting di sana-sini. Aku ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini, menyadari bahwa mereka adalah the happy selected few yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya … Dan kepada rakyat aku ingin tunjukkan, bahwa mereka dapat mengharapkan perbaikan-perbaikan dari keadaan dengan menyatukan diri di bawah pimpinan patriot-patriot universitas begitu tulisnya. Dengan menggabungkan diri didalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), bahkan ia adalah salah satu tokoh yang menggagas mengenai adanya kemanunggalan ABRI dengan Rakyat untuk memimpin bangsa Indonesia bahkan Gie diketahui secara terbuka mendukung jenderal-jenderal TNI-AD dengan harapan bahwa mereka akan membawa Indonesia kepada suatu masyarakat yang adil dan sederajat. (tetapi apakah Gie sama sekali tidak pernah menyadari bahwa ada suatu skenario besar yang dibuat oleh ABRI dan negara-negara Nekolim untuk menjatuhkan Soekarno yang dianggap sebagai momok bagi masuknya paham kapitalisme di Indonesia yang akan menimbulkan suatu sistem penindasan yang amat sangat luar biasa bagi rakyat Indonesia, yang tentu hal ini akan sangat bertentangan dengan keyakinan Gie sendiri yang sangat anti teradap adanya penindasan terhadap umat manusia terutama golongan wong cilik????…), Tahun 1966 ketika mahasiswa tumpah ke jalan melakonkan Aksi Tritura, ia termasuk di barisan paling depan.  Soe juga salah seorang tokoh kunci terjadinya aliansi mahasiswa-ABRI pada 1966. Soe sendiri dalam buku CSD, menulis soal demonstrasi: Malam itu aku tidur di Fakultas Psikologi. Aku lelah sekali. Lusa Lebaran dan tahun yang lama akan segera berlalu. Tetapi kenang-kenangan demonstrasi akan tetap hidup. Dia adalah batu tapal daripada perjuangan mahasiswa Indonesia. Batu tapal dalam revolusi Indonesia dan batu tapal dalam sejarah Indonesia. Karena yang dibelanya adalah keadilan dan kejujuran … Jakarta, 25 Januari 1966.
Di tahun yang sama, ia pun telah mempersoalkan kontinuitas peran teknokrat dalam hegemoni militer negara Orde Baru. Sedangkan tentang hukum, ia menulis: “Mahasiswa hukum akhirnya belajar bahwa ada pula hukum-hukum yang tak tertulis yang lebih superior daripada yang telah tertulis. Mereka perlu koneksi dengan orang-orang penting, dengan tentara, dengan polisi yang dapat menanggulangi hukum. Dan akhirnya, mereka harus memendam kenyataan yang pahit itu diam-diam.” Ia mengkritik KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang menjadi klik vested interest. Tentang teman-temannya yang menerima tawaran kursi parlemen, dan bahkan berebut mendapatkan kredit mobil, ia menyebutkannya sebagai pemimpin yang mencatut perjuangan. “Umurnya rata-rata mendekati 30 tahun, telah berkali-kali tak naik kelas karena jarang kuliah. Mereka bukan lagi mahasiswa yang berpolitik, tetapi politisi yang punya kartu mahasiswa.”   Adanya ketidakberesan dari sistem kekuasaan ORBA ini pada akhirnya tercium juga oleh Gie pada periode tahun-tahun 1968-1969, dimana kawan-kawan seperjuangan di KAMI seperti Akbar Tanjung, Cosmas Batubara dan lain-lainnya mulai asyik bermain-main dengan kekuasaan,  juga dengan mulai merajalelanya pembantaian-pembantaian yang dilakukan oleh ABRI terhadap orang-orang yang di PKI kan (Gie sendiri pernah mengutarakan mengenai permasalahan ini kepada kawan akrabnya Ben Anderson,  dimana ia berkata bahwa ia telah salah menaruh kepercayaan kepada ABRI yang telah berubah menjadi sosok yang sangat fasis, Gie juga mengatakan pada Ben Anderson bahwa telah ada dehumanisasi besar-besaran di pulau Jawa dan bali terhadap para simpatisan PKI yang tentu saja membuat ia resah akan adanya penyelewengan-penyelewengan kepercayaan yang ia berikan kepada orde baru). Hal inilah yang kemudian melatar belakangi Gie untuk menjadi seseorang yang “garang” didalam mengkritisi sistem kekuasaan ORBA.
Ia memang seorang penggerak kekuatan moral, humanis sejati dan idealis yang bergairah. Tapi mempertahankan idealisme ternyata bukan pekerjaan ringan,
dan itu dirasakannya sendiri, ketika ia bergulat dalam catatan hariannya: “Di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis atau apatis. Saya sudah lama memutuskan bahwa saya harus menjadi idealis, sampai batas-batas sejauh-jauhnya.”
Patriotisme
Bagi Hok Gie, gunung adalah tempat untuk menguji kepribadian dan keteguhan hati seseorang. Ia juga mengatakan: “Hanya di puncak gunung aku merasa bersih.” Tapi lebih dari itu, kecintaannya pada alam adalah bagian penting
dari kejiwaan cinta-Tanah Airnya. Patriotisme, katanya, tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan.
Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. “Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat”. Hok Gie memang seorang penjelajah alam dan pendaki gunung yang entusias. Ia punya kekaguman tersendiri pada temannya, Herman Lantang, yang jago naik gunung dan sedang menjelajahi hutan Irian Jaya. Hok Gie sendiri bercita-cita suatu saat bisa mencapai gunung tertinggi di Jawa yakni Semeru.
“Komitmennya yang penuh untuk modernisasi dan demokrasi, kejujurannya, kepercayaan dirinya yang teguh dalam perjuangan-perjuangannya menyebabkan dia mampu mengatasi pandangan-pandangan tradisional yang menentangnya yang disebabkan latar belakang keturunan Cinanya itu, ia memberikan ilustrasi tentang adanya kemungkinan suatu tipe baru orang Indonesia, yang benar-benar asli orang Indonesia. Saya pikir pesan inilah yang telah
disampaikannya kepada kita dalam hidupnya yang singkat itu.
tetapi sayang sungguh sayang ternyata tuhan lebih memilih “Mengambil” Gie ketika ia masih didalam keadaan yang  “suci” di dalam menegakkan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan, mungkin hal inilah yang terbaik yang dikaruniakan tuhan kepada Gie, ketika ia masih ’suci” dan belum ikut-ikutan menjadi tikus-tikus penguasa, Gie lebih dahulu dipanggil, bagi Gie sendiri mungkin hal ini telah sangat sesuai dengan keinginan-keinginannya ketika ia telah banyak mengalami kekecewaan dengan kondisi lingkungan sekitar Gie sendiri, baik itu kondisi kawan-kawan seperjuangannya yang telah larut dalam kenikmatan kekuasaan, maupun kenyataan yang harus ia hadapi ketika Orde Baru yang turut ia bidani kelahirannya ternyata sangat jauh dari pengharapan dan idealismenya, dimana pada saat Gie mengalami kenyataan tersebut ia kembali merindukan akan suatu hakikat kehidupan yang bisa membuat dirinya menjadi bebas, tenang dan damai selalu didalam pelukanNya, bahkan sering Gie mengutip suatu kalimat bijak dari pemikir Yunani yang berbunyi “Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Bahagialah mereka yang mati muda.”. mungkin inilah yang terbaik bagi Gie dengan segala kecemerlangan ide, gagasan serta radikalisasinya didalam gerakan????…hanya tuhan dengan segala kebesarannya yang tahu………..

*Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Jember, Koordinator Kelompok Studi Forum Panggung Terbuka Universitas Jember, Anggota Komite Kaderisasi Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI), Anggota Centre of Local Economic and Politic Study’s (CoLEPS) Jember.Alamat: Wisma Marinda, Jln Percetakan Negara No. 131-B Rawasari Jakarta Pusat 10570 Tlp 081336103916, email:saptoraharjanto@yahoo.co.id

0 komentar:

Post a Comment