Oleh: Sapto Raharjanto*
SOE HOK GIE adalah merupakan sebuah fenomena besar didalam sejarah
dunia gerakan kepemudaan di Indonesia terutama gerakan Mahasiswa,
dimana Soe Hok Gie adalah seorang tokoh yang mewakili gerakan pemuda
pasca angkatan 45 (angkatan 66),… tetapi ada suatu fenomena menarik dan
kontroversial dari Soe Hok Gie, yaitu sebenarnya bagaimana pola
perjuangan dari Soe Hok Gie sendiri, apakah ia seorang Sosialis,
Marxist/Komunis???….hal tersebut sampai saat ini masih merupakan sebuah
misteri besar, lalu apakah ia hanya seseorang yang memperjuangkan
tegaknya keadilan dan kebenaran bagi rakyat yang tertindas oleh kediktatoran dan kesewenang-wenangan penguasa di bumi pertiwi ini……
Sosok Soe Hok Gie sendiri dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942, Anak
keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam
Sutrawan, ini sejak kecil amat suka membaca, mengarang dan memelihara
binatang. Keluarga sederhana itu tinggal di bilangan Kebonjeruk, di
suatu rumah sederhana di pojokan jalan, bertetangga dengan rumah orang
tua Teguh Karya. Saudara laki-laki satu-satunya Soe
Hok Djien, kakaknya, yang kini kita kenal sebagai Arief Budiman. Sejak
SMP, ia menulis buku catatan harian, termasuk surat- menyurat dengan
kawan dekatnya. Semakin besar, ia makin berani menghadapi ketidakadilan,
termasuk melawan tindakan semena-mena sang guru. Sekali waktu, Soe
pernah berdebat dengan guru SMP-nya. Tentu saja guru itu naik pitam.
Dalam
catatan hariannya, ia menulis: Guru model begituan, yang tidak tahan
dikritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar.
Dan murid bukan kerbau. Begitu tulis anak muda yang sampai hari
ajalnya, tetap tak bisa mengendarai sepeda motor, apalagi nyupir mobil.
“Gue cuma bisa naik sepeda, juga pandai nggenjot becak.”. Sikap
kritisnya semakin tumbuh ketika dia mulai berani mengungkit kemapanan.
Misalnya, saat dirinya menjelang remaja, Soe menyaksikan seorang
pengemis sedang makan kulit buah mangga. Dia pun merogoh saku, lalu
memberikan uangnya yang cuma Rp 2,50 kepada pengemis itu. Di catatannya
ia menulis: Ya, dua kilometer dari pemakan kulit mangga, ‘paduka’ kita
mungkin lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang
cantik-cantik. Aku besertamu orang-orang malang. Bacaan dan pelajaran
yang diterimanya membentuk Soe menjadi pemuda yang percaya bahwa hakikat
hidup adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dan dapat merasai
kedukaan itu. Soe melewatkan pendidikannya di SMA Kanisius. Tahun
1962 - 1969 ia melanjutkan studinya di Fakultas Sastra Universitas
Indonesia Jurusan Sejarah. dan masuk kedalam organisasi Gerakan
Mahasiswa Sosialis (GMSOS). Sementara keadaan ekonomi makin kacau. Soe
resah. Dia mencatat: Kalau rakyat Indonesia terlalu melarat, maka secara
natural mereka akan bergerak sendiri. Dan kalau ini terjadi, maka akan
terjadi chaos. Lebih baik mahasiswa yang bergerak. Maka lahirlah sang
demonstran.
Hari-harinya
diisi dengan program demo, termasuk rapat penting di sana-sini. Aku
ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini, menyadari bahwa mereka adalah the
happy selected few yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus
menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya … Dan kepada
rakyat aku ingin tunjukkan, bahwa mereka dapat mengharapkan
perbaikan-perbaikan dari keadaan dengan menyatukan diri di bawah
pimpinan patriot-patriot universitas begitu tulisnya. Dengan
menggabungkan diri didalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI),
bahkan ia adalah salah satu tokoh yang menggagas mengenai adanya
kemanunggalan ABRI dengan Rakyat untuk memimpin bangsa Indonesia bahkan
Gie diketahui secara terbuka mendukung jenderal-jenderal TNI-AD dengan
harapan bahwa mereka akan membawa Indonesia kepada suatu masyarakat yang
adil dan sederajat. (tetapi apakah Gie sama sekali tidak pernah
menyadari bahwa ada suatu skenario besar yang dibuat oleh ABRI dan
negara-negara Nekolim untuk menjatuhkan Soekarno yang dianggap sebagai
momok bagi masuknya paham kapitalisme di Indonesia yang akan menimbulkan
suatu sistem penindasan yang amat sangat luar biasa bagi rakyat
Indonesia, yang tentu hal ini akan sangat bertentangan dengan keyakinan
Gie sendiri yang sangat anti teradap adanya penindasan terhadap umat
manusia terutama golongan wong cilik????…), Tahun 1966 ketika mahasiswa
tumpah ke jalan melakonkan Aksi Tritura, ia termasuk di barisan paling
depan. Soe juga salah seorang
tokoh kunci terjadinya aliansi mahasiswa-ABRI pada 1966. Soe sendiri
dalam buku CSD, menulis soal demonstrasi: Malam itu aku tidur di
Fakultas Psikologi. Aku lelah sekali. Lusa Lebaran dan tahun yang lama
akan segera berlalu. Tetapi kenang-kenangan demonstrasi akan tetap
hidup. Dia adalah batu tapal daripada perjuangan mahasiswa Indonesia.
Batu tapal dalam revolusi Indonesia dan batu tapal dalam sejarah
Indonesia. Karena yang dibelanya adalah keadilan dan kejujuran …
Jakarta, 25 Januari 1966.
Di
tahun yang sama, ia pun telah mempersoalkan kontinuitas peran teknokrat
dalam hegemoni militer negara Orde Baru. Sedangkan tentang hukum, ia
menulis: “Mahasiswa hukum akhirnya belajar bahwa ada pula hukum-hukum
yang tak tertulis yang lebih superior daripada yang telah tertulis.
Mereka perlu koneksi dengan orang-orang penting, dengan tentara, dengan
polisi yang dapat menanggulangi hukum. Dan akhirnya, mereka harus
memendam kenyataan yang pahit itu diam-diam.” Ia mengkritik KAMI
(Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang menjadi klik vested interest.
Tentang teman-temannya yang menerima tawaran kursi parlemen, dan bahkan
berebut mendapatkan kredit mobil, ia menyebutkannya sebagai pemimpin
yang mencatut perjuangan. “Umurnya rata-rata mendekati 30 tahun, telah
berkali-kali tak naik kelas karena jarang kuliah. Mereka bukan lagi
mahasiswa yang berpolitik, tetapi politisi yang punya kartu mahasiswa.” Adanya
ketidakberesan dari sistem kekuasaan ORBA ini pada akhirnya tercium
juga oleh Gie pada periode tahun-tahun 1968-1969, dimana kawan-kawan
seperjuangan di KAMI seperti Akbar Tanjung, Cosmas Batubara dan
lain-lainnya mulai asyik bermain-main dengan kekuasaan, juga
dengan mulai merajalelanya pembantaian-pembantaian yang dilakukan oleh
ABRI terhadap orang-orang yang di PKI kan (Gie sendiri pernah
mengutarakan mengenai permasalahan ini kepada kawan akrabnya Ben
Anderson, dimana ia berkata
bahwa ia telah salah menaruh kepercayaan kepada ABRI yang telah berubah
menjadi sosok yang sangat fasis, Gie juga mengatakan pada Ben Anderson
bahwa telah ada dehumanisasi besar-besaran di pulau Jawa dan bali
terhadap para simpatisan PKI yang tentu saja membuat ia resah akan
adanya penyelewengan-penyelewengan kepercayaan yang ia berikan kepada
orde baru). Hal inilah yang kemudian melatar belakangi Gie untuk menjadi
seseorang yang “garang” didalam mengkritisi sistem kekuasaan ORBA.
Ia
memang seorang penggerak kekuatan moral, humanis sejati dan idealis
yang bergairah. Tapi mempertahankan idealisme ternyata bukan pekerjaan
ringan,
dan
itu dirasakannya sendiri, ketika ia bergulat dalam catatan hariannya:
“Di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis atau apatis. Saya
sudah lama memutuskan bahwa saya harus menjadi idealis, sampai
batas-batas sejauh-jauhnya.”
Patriotisme
Bagi
Hok Gie, gunung adalah tempat untuk menguji kepribadian dan keteguhan
hati seseorang. Ia juga mengatakan: “Hanya di puncak gunung aku merasa
bersih.” Tapi lebih dari itu, kecintaannya pada alam adalah bagian
penting
dari kejiwaan cinta-Tanah Airnya. Patriotisme, katanya, tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan.
Seseorang
hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya.
“Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal
Indonesia bersama rakyatnya dari dekat”. Hok Gie memang seorang
penjelajah alam dan pendaki gunung yang entusias. Ia punya kekaguman
tersendiri pada temannya, Herman Lantang, yang jago naik gunung dan
sedang menjelajahi hutan Irian Jaya. Hok Gie sendiri bercita-cita suatu
saat bisa mencapai gunung tertinggi di Jawa yakni Semeru.
“Komitmennya
yang penuh untuk modernisasi dan demokrasi, kejujurannya, kepercayaan
dirinya yang teguh dalam perjuangan-perjuangannya menyebabkan dia mampu
mengatasi pandangan-pandangan tradisional yang menentangnya yang
disebabkan latar belakang keturunan Cinanya itu, ia memberikan ilustrasi
tentang adanya kemungkinan suatu tipe baru orang Indonesia, yang
benar-benar asli orang Indonesia. Saya pikir pesan inilah yang telah
disampaikannya kepada kita dalam hidupnya yang singkat itu.
tetapi sayang sungguh sayang ternyata tuhan lebih memilih “Mengambil” Gie ketika ia masih didalam keadaan yang “suci”
di dalam menegakkan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan, mungkin hal
inilah yang terbaik yang dikaruniakan tuhan kepada Gie, ketika ia masih
’suci” dan belum ikut-ikutan menjadi tikus-tikus penguasa, Gie lebih
dahulu dipanggil, bagi Gie sendiri mungkin hal ini telah sangat sesuai
dengan keinginan-keinginannya ketika ia telah banyak mengalami
kekecewaan dengan kondisi lingkungan sekitar Gie sendiri, baik itu
kondisi kawan-kawan seperjuangannya yang telah larut dalam kenikmatan
kekuasaan, maupun kenyataan yang harus ia hadapi ketika Orde Baru yang
turut ia bidani kelahirannya ternyata sangat jauh dari pengharapan dan
idealismenya, dimana pada saat Gie mengalami kenyataan tersebut ia
kembali merindukan akan suatu hakikat kehidupan yang bisa membuat
dirinya menjadi bebas, tenang dan damai selalu didalam pelukanNya,
bahkan sering Gie mengutip suatu kalimat bijak dari pemikir Yunani yang
berbunyi “Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan
tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Bahagialah mereka yang
mati muda.”. mungkin inilah yang terbaik bagi Gie dengan segala
kecemerlangan ide, gagasan serta radikalisasinya didalam
gerakan????…hanya tuhan dengan segala kebesarannya yang tahu………..
*Penulis
adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra Universitas
Jember, Koordinator Kelompok Studi Forum Panggung Terbuka Universitas
Jember, Anggota Komite Kaderisasi Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia (GmnI), Anggota Centre of Local Economic and Politic Study’s
(CoLEPS) Jember.Alamat: Wisma Marinda, Jln Percetakan Negara No. 131-B
Rawasari Jakarta Pusat 10570 Tlp 081336103916,
email:saptoraharjanto@yahoo.co.id
0 komentar:
Post a Comment