Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Ketika Nabi Musa baru saja menaklukkan Fir'aun, salah seorang sahabatnya bertanya kepadanya, "Masih adakah orang yang lebih hebat dari Anda?" Jawaban Nabi Musa saat itu seolah-olah menafikan kehebatan orang lain selain dirinya.
Seketika itu juga Allah SWT memerintahkan Musa untuk segera belajar kepada seseorang. Nabi Musa pun mencari guru, "Lalu, ia bertemu seorang hamba di antara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (QS. Al-Kahfi: 65).
Alangkah kagetnya Nabi Musa, sebab orang yang akan menjadi gurunya itu adalah seorang yang sama sekali tidak pernah populer dan penampilannya pun sederhana, yang kemudian diketahui bernama Khidir.
Lebih mengagetkan lagi ketika sang guru memberikan syarat kepadanya sebagai seorang murid, "… janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun sampai aku menerangkan kepadamu." (QS. Al-Kahfi: 70).
Khidir menyangsikan kemampuan dan kesabaran Musa untuk menjadi muridnya, tetapi Musa memberi jaminan untuk mengikuti syarat-syarat itu. Alhasil, proses belajar-mengajar dimulai dan tidak dilakukan di dalam ruang bangunan, tetapi ia diajak berkeliling naik turun gunung, menyeberang laut, bertadabur alam, seakan-akan sang guru memperkenalkan laboratorium terbuka yang beratapkan langit.
Ketika keduanya melewati pantai, sang guru tiba-tiba membocorkan satu persatu perahu-perahu nelayan. Musa kaget dan menanyakan perbuatan gurunya dengan mengatakan, bukankah ini satu-satunya sumber utama mata pencaharian penduduk di desa miskin ini.
Lalu, sang guru mengingatkan komitmen awalnya agar tidak banyak berinterupsi. Ketika perjalanan dilanjutkan, sang guru menjumpai kerumunan anak-anak kecil sedang bermain, tiba-tiba salah seorang di antaranya langsung dibunuhnya.
Musa kembali kaget luar biasa dan mempertanyakan tindakan gurunya, mengapa anak yang tak berdosa tega dibunuhnya. Sang guru kembali mengingatkan komitmen awalnya. Perjalanan dilanjutkan, ketika keduanya menjumpai reruntuhan bangunan tua yang tak berpenghuni, sang guru menghabiskan waktu berhari-hari untuk memugarnya.
Setelah dinding bangunan ditegakkan, sang murid lega mungkin di sinilah ia akan diberi pelajaran. Alangkah kagetnya Musa ketika sang guru mengajaknya untuk meninggalkan bangunan itu. Pikiran Musa semakin curiga, apakah orang yang selama ini diikuti betul-betul seorang guru atau seorang yang tidak normal.
Redaktur: Chairul Akhmad
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/tasawuf/12/05/31/m4v4gm-antara-ilmu-hudhuri-dan-ilmu-hushuli-1
0 komentar:
Post a Comment